Di dalam akuntansi biaya yang tradisional, komponen-komponen harga pokok
produk atau jasa terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan
biaya overhead, baik yang bersifat
tetap maupun variabel.
Pada awal tahun 1987, activity-based
costing muncul sebagai respon terhadap tekanan kompetitif yang terkena
ketidakakuratan dalam akuntansi tradisional. Activity-based costing digunakan perusahaan untuk membantu melihat
distorsi yang melekat pada sistem akuntasi tradisional sehingga menyebabkan
perubahan dalam strategi, proses dan usaha dan posisi kompetitif dapat
ditingkatkan. Dengan demikian, saat ini ada dua metode yang dapat digunakan
dalam menentukan harga pokok produksi yakni: metode tradisional (full costing dan variable costing) dan metode activity-based
costing.
Konsep
activity-based costing
Charter dan Usry (2006) berpendapat bahwa activity-based costing merupakan suatu
metode perhitungan biaya di mana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan
dasar yang memasukkan satu atau lebih faktor yang tidak berkaitan dengan
volume.
Witjaksono (2006) mendefinisikan activity-based
costing sebagai suatu metode pengukuran biaya produk atau jasa yang
didasarkan atas penjumlahan biaya (cost
accumulation) daripada kegiatan atau aktivitas yang timbul berkaitan dengan
produksi produk atau jasa tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa activity-based
costing merupakan sistem penentuan harga pokok produksi yang didasarkan
pada aktivitas pembiayaan suatu produk atau jasa, dimana beban biaya overhead
dapat dikalkulasikan kedalam produk atau jasa tersebut.
Keunggulan
activity-based costing
Blocher et al (2007)
menyatakan manfaat dan kelebihan dari metode activity-based costing, yaitu:
1.
Pengukuran profitabilitas yang lebih
baik
Activity-based costing
menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informatif, mengarah pada
pengukuran profitabilitas produk yang akurat, dan keputusan strategi yang
diinformasikan lebih baik; tentang penetapan harga jual, lini produk, dan
segmen pasar.
2.
Keputusan dan kendali yang lebih baik
Activity-based costing
menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang timbul karena dipicu
oleh aktivitas, membantu manajemen untuk meningkatkan nilai produk dan nilai
proses dengan membuat keputusan yang lebih baik tentang desain produk,
mengendalikan biaya secara lebih baik, dan membantu perkembangan proyek-proyek
yang meningkatkan nilai.
3.
Informasi yang lebih baik untuk
mengendalikan biaya kapasitas
Activity-based costing
membantu manajer mengidentifikasi dan mengendalikan biaya kapasitas yang tidak
terpakai.
Hartanto dan Zulkifli (2003)
menyatakan hal serupa, beliau menyatakan bahwa kelebihan dari dari metode activity-based costing yakni:
1.
Menyajikan biaya produk yang lebih
akurat dan informatif, yang mengarah pada pengukuran profitabilitas yang lebih
akurat.
2.
Menyajikan pengukuran yang lebih akurat
mengenai biaya yang dipicu oleh adanya aktivitas.
3.
Memudahkan manajer memberikan informasi
tentang biaya yang relevan untuk pembuatan keputusan.
Kelemahan
activity-based costing
Witjaksono (2006)
mengemukakan bahwa kelemahan dari metode activity-based
costing adalah dalam penerapannya activity-based
costing membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan juga peralatan sehingga
biaya dari informasi yang dihasilkan relatif lebih mahal dan lama.
Charter dan Usry (2006) menyatakan, jika activity-based costing menunjukkan berapa banyak suatu produk
bervolume rendah merupakan produk yang merugi, maka kerugian tersebut tidak
dapat dihilangkan seluruhnya dengan cara menghentikan produksi tersebut, karena
beberapa biaya yang dibebankan ke produk tersebut tidak dapat dihindarkan.
Perbandingan
Metode Tradisional dan Activity-Based
Costing
Charter dan Ursy (2006) menyatakan bahwa terdapat
perbedaan antara traditional costing
dan activity-based costing, perbedaan
tersebut diantaranya:
1.
Sistem activity-based costing
mengharuskan penggunaan tempat penampungan overhead lebih dari satu.
2.
Jumlah penampungan biaya overhead dan dasar alokasi cenderung
lebih banyak di sistem activity-based costing,
tetapi ini sebagian besar disebabkan karena banyak sistem tradisional
menggunakan satu tempat penampungan biaya atau satu dasar alokasi untuk semua
tempat penampungan biaya.
3.
Perbedaan umum antara sistem activity-based costing dan tradisional
adalah pada sistem activity-based costing
terjadi perhitungan dua tahap, sementara tradisional bisa merupakan sistem perhitungan satu atau
dua tahap. Di tahap pertama sistem activity-based
costing, tempat penampungan biaya aktivitas dibentuk ketika biaya sumber
daya dialokasikan ke aktivitas berdasarkan pemicu sumber daya. Di tahap kedua,
biaya aktivitas dialokasikan dari tempat penampungan biaya aktivitas ke produk
atau objek biaya final lainnya. Tetapi, sistem biaya tradisional menggunakan
dua tahap hanya jika departemen atau pusat biaya lain dibuat. Biaya sumber daya
dialokasikan ke pusat biaya di tahap pertama, dan kemudian biaya dialokasikan
dari pusat biaya ke produk tahap kedua. Namun untuk kebanyakan kasus, sistem
tradisional hanya terdiri dari satu tahap karena pada sistem ini tidak
menggunakan pusat biaya yang terpisah. Tetapi, untuk sistem activity-based costing, tidak ada yang
hanya terdiri dari satu tahap perhitungan.
Mulyadi (2006) mengemukakan bahwa metode
tradisional membebankan biaya overhead
pabrik kepada produk melalui dua tahap. Tahap pertama, biaya overhead departemen pembantu
dialokasikan kepada departemen produksi dengan menggunakan dasar alokasi
tertentu. Tahap kedua, biaya overhead
pabrik yang telah melalui agregasi tahap pertama, dibebankan kepada produk atas
dasar jam tenaga kerja langsung, jam mesin, atau biaya tenaga kerja langsung.
Dalam metode activity-based costing
pembebanan biaya juga terjadi dalam dua tahap, yakni: pengumpulan biaya overhead pabrik dalam cost pool yang berisi aktivitas yang
homogen. Kemudian pembebanan biaya yang terkumpul dalam cost pool ke produk yang dihasilkan dengan menggunakan cost driver. Sehingga dalam sistem biaya
tradisional yang membebankan biaya yang overhead
pada produk melalui agregasi, bukan berdasarkan konsumsi aktivitas seperti yang
terjadi pada sistem activity-based
costing, maka sistem tradisional menimbulkan price distortion.
Lebih lanjut, Horngren et al (2006) menjelaskan bahwa dalam
menghitung harga pokok suatu produk atau jasa dengan sistem perhitungan biaya
tradisional dan sistem activity-based
costing, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi
produk yang dipilih menjadi objek
2. Mengidentifikasi
biaya langsung
3. Memilih
dasar alokasi biaya yang akan digunakan untuk mengalokasikan biaya tidak
langsung ke produk
4. Mengidentifikasi
biaya tidak langsung yang berkaitan dengan setiap dasar alokasi biaya
5. Menghitung
tarif per unit setiap dasar alokasi biaya yang digunakan untuk mengalokasikan
biaya tidak langsung ke produk
6. Menghitung
biaya tidak langsung yang dialokasikan ke produk
7. Menghitung
total biaya produk dengan menambahkan semua biaya langsung dan tidak langsung
yang dibebankan ke produk
Dan perbedaan yang paling mendasar pada
kedua sistem ini yakni terletak pada identifikasi setiap aktivitas atau
transaksi sebelum dibebankan kepada sebuah produk.
No comments:
Post a Comment