Showing posts with label Management. Show all posts
Showing posts with label Management. Show all posts

Metode Menentukan Harga Pokok Produksi – Cost Behaviour


     Di dalam akuntansi biaya yang tradisional, komponen-komponen harga pokok produk atau jasa terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead, baik yang bersifat tetap maupun variabel.
     Pada awal tahun 1987, activity-based costing muncul sebagai respon terhadap tekanan kompetitif yang terkena ketidakakuratan dalam akuntansi tradisional. Activity-based costing digunakan perusahaan untuk membantu melihat distorsi yang melekat pada sistem akuntasi tradisional sehingga menyebabkan perubahan dalam strategi, proses dan usaha dan posisi kompetitif dapat ditingkatkan. Dengan demikian, saat ini ada dua metode yang dapat digunakan dalam menentukan harga pokok produksi yakni: metode tradisional (full costing dan variable costing) dan metode activity-based costing.

Konsep activity-based costing
     Charter dan Usry (2006) berpendapat bahwa activity-based costing merupakan suatu metode perhitungan biaya di mana tempat penampungan biaya overhead yang jumlahnya lebih dari satu dialokasikan menggunakan dasar yang memasukkan satu atau lebih faktor yang tidak berkaitan dengan volume.
     Witjaksono (2006) mendefinisikan activity-based costing sebagai suatu metode pengukuran biaya produk atau jasa yang didasarkan atas penjumlahan biaya (cost accumulation) daripada kegiatan atau aktivitas yang timbul berkaitan dengan produksi produk atau jasa tersebut.
     Sehingga dapat disimpulkan bahwa activity-based costing merupakan sistem penentuan harga pokok produksi yang didasarkan pada aktivitas pembiayaan suatu produk atau jasa, dimana beban biaya overhead dapat dikalkulasikan kedalam produk atau jasa tersebut.

Keunggulan activity-based costing
     Blocher et al (2007) menyatakan manfaat dan kelebihan dari metode activity-based costing, yaitu:
1.      Pengukuran profitabilitas yang lebih baik
Activity-based costing menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informatif, mengarah pada pengukuran profitabilitas produk yang akurat, dan keputusan strategi yang diinformasikan lebih baik; tentang penetapan harga jual, lini produk, dan segmen pasar.
2.      Keputusan dan kendali yang lebih baik
Activity-based costing menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang biaya yang timbul karena dipicu oleh aktivitas, membantu manajemen untuk meningkatkan nilai produk dan nilai proses dengan membuat keputusan yang lebih baik tentang desain produk, mengendalikan biaya secara lebih baik, dan membantu perkembangan proyek-proyek yang meningkatkan nilai.
3.      Informasi yang lebih baik untuk mengendalikan biaya kapasitas
Activity-based costing membantu manajer mengidentifikasi dan mengendalikan biaya kapasitas yang tidak terpakai.
     Hartanto dan Zulkifli (2003) menyatakan hal serupa, beliau menyatakan bahwa kelebihan dari dari metode activity-based costing yakni:
1.      Menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan informatif, yang mengarah pada pengukuran profitabilitas yang lebih akurat.
2.      Menyajikan pengukuran yang lebih akurat mengenai biaya yang dipicu oleh adanya aktivitas.
3.      Memudahkan manajer memberikan informasi tentang biaya yang relevan untuk pembuatan keputusan.

Kelemahan activity-based costing
     Witjaksono (2006) mengemukakan bahwa kelemahan dari metode activity-based costing adalah dalam penerapannya activity-based costing membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga dan juga peralatan sehingga biaya dari informasi yang dihasilkan relatif lebih mahal dan lama.
     Charter dan Usry (2006) menyatakan, jika activity-based costing menunjukkan berapa banyak suatu produk bervolume rendah merupakan produk yang merugi, maka kerugian tersebut tidak dapat dihilangkan seluruhnya dengan cara menghentikan produksi tersebut, karena beberapa biaya yang dibebankan ke produk tersebut tidak dapat dihindarkan.

Perbandingan Metode Tradisional dan Activity-Based Costing
Charter dan Ursy (2006) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara traditional costing dan activity-based costing, perbedaan tersebut diantaranya:
1.      Sistem activity-based costing mengharuskan penggunaan tempat penampungan overhead lebih dari satu.
2.      Jumlah penampungan biaya overhead dan dasar alokasi cenderung lebih banyak di sistem activity-based costing, tetapi ini sebagian besar disebabkan karena banyak sistem tradisional menggunakan satu tempat penampungan biaya atau satu dasar alokasi untuk semua tempat penampungan biaya.
3.      Perbedaan umum antara sistem activity-based costing dan tradisional adalah pada sistem activity-based costing terjadi perhitungan dua tahap, sementara tradisional  bisa merupakan sistem perhitungan satu atau dua tahap. Di tahap pertama sistem activity-based costing, tempat penampungan biaya aktivitas dibentuk ketika biaya sumber daya dialokasikan ke aktivitas berdasarkan pemicu sumber daya. Di tahap kedua, biaya aktivitas dialokasikan dari tempat penampungan biaya aktivitas ke produk atau objek biaya final lainnya. Tetapi, sistem biaya tradisional menggunakan dua tahap hanya jika departemen atau pusat biaya lain dibuat. Biaya sumber daya dialokasikan ke pusat biaya di tahap pertama, dan kemudian biaya dialokasikan dari pusat biaya ke produk tahap kedua. Namun untuk kebanyakan kasus, sistem tradisional hanya terdiri dari satu tahap karena pada sistem ini tidak menggunakan pusat biaya yang terpisah. Tetapi, untuk sistem activity-based costing, tidak ada yang hanya terdiri dari satu tahap perhitungan.
     Mulyadi (2006) mengemukakan bahwa metode tradisional membebankan biaya overhead pabrik kepada produk melalui dua tahap. Tahap pertama, biaya overhead departemen pembantu dialokasikan kepada departemen produksi dengan menggunakan dasar alokasi tertentu. Tahap kedua, biaya overhead pabrik yang telah melalui agregasi tahap pertama, dibebankan kepada produk atas dasar jam tenaga kerja langsung, jam mesin, atau biaya tenaga kerja langsung. Dalam metode activity-based costing pembebanan biaya juga terjadi dalam dua tahap, yakni: pengumpulan biaya overhead pabrik dalam cost pool yang berisi aktivitas yang homogen. Kemudian pembebanan biaya yang terkumpul dalam cost pool ke produk yang dihasilkan dengan menggunakan cost driver. Sehingga dalam sistem biaya tradisional yang membebankan biaya yang overhead pada produk melalui agregasi, bukan berdasarkan konsumsi aktivitas seperti yang terjadi pada sistem activity-based costing, maka sistem tradisional menimbulkan price distortion.
     Lebih lanjut, Horngren et al (2006) menjelaskan bahwa dalam menghitung harga pokok suatu produk atau jasa dengan sistem perhitungan biaya tradisional dan sistem activity-based costing, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Mengidentifikasi produk yang dipilih menjadi objek
2.      Mengidentifikasi biaya langsung
3.      Memilih dasar alokasi biaya yang akan digunakan untuk mengalokasikan biaya tidak langsung ke produk
4.      Mengidentifikasi biaya tidak langsung yang berkaitan dengan setiap dasar alokasi biaya
5.      Menghitung tarif per unit setiap dasar alokasi biaya yang digunakan untuk mengalokasikan biaya tidak langsung ke produk
6.      Menghitung biaya tidak langsung yang dialokasikan ke produk
7.      Menghitung total biaya produk dengan menambahkan semua biaya langsung dan tidak langsung yang dibebankan ke produk
     Dan perbedaan yang paling mendasar pada kedua sistem ini yakni terletak pada identifikasi setiap aktivitas atau transaksi sebelum dibebankan kepada sebuah produk.


Biaya - Costing: Konsep dan Klasifikasi


     Konsep biaya
Berikuti ini beberapa pengertian biaya menurut para ahli:
     Carter dan Usry (2006) menyatakan bahwa biaya sebagai nilai tukar, pengeluaran, pengorbanan untuk memperoleh manfaat.
    Horngren et al (2006) mendefinisikan biaya sebagai sebuah sumber daya yang yang dikorbankan untuk mencapai sebuah objek yang spesifik.
     Hansen dan Mowen (2006) mendefinisikan biaya sebagai kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan untuk mendapatkan barang dan jasa yang diharapkan memberikan manfaat untuk saat ini maupun masa mendatang bagi organisasi.
     Mulyadi (2009) mengemukakan bahwa biaya dalam artian sempit merupakan objek yang dicatat, digolongkan, diringkas dan disajikan oleh akuntansi biaya. Sedangkan biaya dalam artian luas adalah pengorbanan sumber ekonomi, yang diukur dengan satuan uang, yang telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu.
   
Klasifikasi biaya
     Klasifikasi biaya sangat diperlukan untuk mengembangkan data biaya yang ada. Horngren et al (2006) mengklasifikasikan biaya menjadi dua yakni:
a. Biaya langsung, yang merupakan biaya yang berhubungan secara langsung terhadap objek dan dapat dihitung sebagai nilai ekonomis.
b. Biaya tidak langsung, yang merupakan biaya yang berhubungan dengan biaya produk namun tidak dapat dihitung sebagai nilai ekonomis produk.
     Sementara itu, untuk tujuan perhitungan biaya produk dan jasa, biaya dapat diklasifikasikan menurut tujuan khusus atau fungsi-fungsinya. Hansen dan Mowen (2006) mengklasifikasikan biaya kedalam dua kategori fungsional utama, antara lain:
1. Biaya produksi, merupakan biaya yang berkaitan dengan pembuatan barang atau penyediaan jasa.
    Biaya produksi dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai:
a.       Biaya bahan langsung, adalah bahan yang dapat di telusuri ke barang atau jasa yang diproduksi. Biaya bahan langsung ini dapat dibebankan ke produk karena pengamatan fisik dapat digunakan untuk mengukur kuantitas yang dikonsumsi oleh setiap produk.
b.      Tenaga kerja langsung, adalah tenaga kerja yang dapat ditelusuri pada barang atau jasa yang sedang diproduksi. Seperi halnya bahan langsung, pengamatan fisik dapat digunakan dalam mengukur kuantitas karyawan yang digunakan dalam memproduksi suatu produk dan jasa. Karyawan yang mengubah bahan baku menjadi produk atau menyediakan jasa pelanggan diklasifikasikan sebagai tenaga kerja langsung.
c.       Overhead, merupakan semua biaya yang tidak termasuk kedalam bahan langsung dan tenaga kerja langsung. Kategori biaya overhead memuat berbagai item yang luas. Banyak input yang diperlukan dalam membuat sebuah produk ataupun jasa. Bahan langsung yang merupakan bagian yang tidak signifikan dalam proses produksi biasanya dimasukkan kedalam kategori biaya overhead. Hal ini dibenarkan atas dasar biaya dan kepraktisan. Biaya lembur tenaga kerja langsung biasanya dibebankan ke overhead, dengan asumsi bahwa tidak semua operasi produksi tertentu secara khusus dapat diidentifikasikan sebagai penyebab lembur.
2          2. Biaya non produksi, merupakan biaya yang berkaitan dengan fungsi perencanaan, pengembangan,
                pemasaran, distribusi, pelayanan pelanggan dan administrasi umum. Terdapat dua jenis biaya non
                produksi yang lazim digunakan, diantaranya:
a. Biaya penjualan atau pemasaran, adalah biaya yang diperlukan dalam memasarkan, mendistribusikan dan melayani produk atau jasa.
b. Biaya administrasi, merupakan seluruh biaya yang berkaitan dengan penelitian, pengembangan dan administrasi umum pada organisasi yang tidak dapat dibebankan ke pemasaran ataupun produksi. Administrasi umum bertanggung jawab dalam memastikan bahwa berbagai aktivitas organisasi terintegrasi secara tepat sehingga misi perusahaan secara keseluruhan dapat terealisasi.

Referensi:
Carter, W. K. dan Milton F. Usry. (2006). Akuntansi Biaya, Jilid 1 Edisi 13, Terjemahan Krista, Jakarta: Salemba Empat

Hansen, D. R. dan Maryanne M. Mowen. (2006). Akuntansi Manajemen, Edisi 7, Terjemahan Dewi Fitrisari dan Deny Arnos. Jakarta: Salemba

Horngren, C. T., Srikant M. Datar, and George Foster. (2006). Cost Accounting: A Managerial Emphasis. Ed. 12th. New Jersey: Pearson

Mulyadi. (2009). Akuntansi Biaya, Edisi ke-5. Yogyakarta: UPP AMP YKPN

Harga Pokok Produksi: Konsep, Tujuan dan Metode Perhitungan


     Konsep harga pokok produksi
     Beberapa pendapat ahli mengenai konsep harga pokok produksi:
     Menurut Hansen and Mowen (2006), Harga pokok produksi merupakan jumlah biaya barang yang diselesaikan selama periode berjalan. Biaya yang hanya dibebankan ke barang yang diselesaikan adalah biaya produksi dari bahan baku langsung, tenaga kerja langsung dan biaya overhead.
     Harga pokok produksi adalah biaya yang dibeli untuk proses sampai selesai, baik sebelum maupun selama periode akuntansi berjalan (Horngren et al, 2006).

Tujuan penentuan harga pokok produksi
     Penentuan harga pokok produksi bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya biaya yang dikorbankan dalam hubungannya dengan pengolahan bahan baku menjadi barang jadi atau jasa yang siap untuk dijual dan dipakai. Penentuan harga pokok sangat penting dalam suatu perusahaan, karena merupakan salah satu elemen yang dapat digunakan sebagai pedoman dan sumber informasi bagi pimpinan dalam mengambil keputusan.
     Adapun tujuan penentuan harga pokok produksi yang lain (Akbar, 2011), diantaranya yakni:
1          a. Sebagai dasar untuk menilai efisiensi perusahaan.
2          b. Sebagai dasar dalam penentuan kebijakan pimpinan perusahaan.
3          c. Sebagai dasar penilaian bagi penyusun neraca yang menyangkut penilaian terhadap aktiva.
4          d. Sebagai dasar untuk menetapkan harga penawaran atau harga jual terhadap konsumen.
5          e. Menentukan nilai persediaan dalam neraca, yaitu harga pokok persediaan produk jadi
            f. Untuk menghitung harga pokok produksi dalam laporan laba rugi perusahaan.
7          g. Sebagai evaluasi hasil kerja.
8          h. Pengawasan terhadap efisiensi biaya, terutama biaya produksi.
9           i. Sebagai dasar pengambilan keputusan.
             j. Untuk tujuan perencanaan laba.

                     Metode Menentukan Harga Pokok Produksi
     Di dalam akuntansi biaya yang tradisional, komponen-komponen harga pokok produk atau jasa terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead, baik yang bersifat tetap maupun variabel.
     Pada awal tahun 1987, activity-based costing muncul sebagai respon terhadap tekanan kompetitif yang terkena ketidakakuratan dalam akuntansi tradisional. Activity-based costing digunakan perusahaan untuk membantu melihat distorsi yang melekat pada sistem akuntasi tradisional sehingga menyebabkan perubahan dalam strategi, proses dan usaha dan posisi kompetitif dapat ditingkatkan. Dengan demikian, saat ini ada dua metode yang dapat digunakan dalam menentukan harga pokok produksi yakni: metode tradisional (full costing dan variable costing) dan metode activity-based costing, namun dalam praktiknya saat ini masih banyak perusahaan yang menggunakan metode tradisional karena proses perhitungan dengan metode ini lebih mudah dan tidak serumit activity-based costing serta tidak banyak memakan biaya.

           A.  Metode full costing
     Mulyadi (2001) menyatakan bahwa metode full costing merupakan metode penentuan biaya produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik, baik yang berprilaku tetap maupun variabel.
     Bustami dan Nurlela (2006) menyatakan bahwa full costing atau sering disebut metode serapan atau konvensional merupakan suatu metode dalam perhitungan harga pokok yang dibebankan kepada produk dengan mempertimbangkan seluruh biaya produksi baik bersifat variabel maupun yang bersifat tetap.
     Sehingga, dapat dikatakan bahwa metode full costing merupakan metode penentuan harga pokok yang memasukkan biaya overhead pabrik, baik yang berprilaku tetap maupun variabel. Menurut metode full costing, karena produk yang dihasilkan ternyata menyerap jasa biaya overhead pabrik tetap walaupun tidak secara langsung, maka wajar apabila biaya overhead tetap dimasukkan sebagai komponen pembentukan biaya pokok produk.
     Lebih lanjut Mulyadi (2001) menyatakan karena full costing hanya mengelompokkan biaya berdasarkan fungsi pokok produksi organisasi perusahaan manufaktur, sehingga biaya dikelompokkan menjadi biaya produksi dan biaya non produksi. Biaya produksi merupakan komponen biaya penuh produk, sedangkan biaya pemasaran dan biaya pemasaran dan administrasi umum diperlakukan sebagai biaya produksi dalam full costing.
     Sehingga secara umum biaya produk yang dihitung dengan pendekatan full costing terdiri dari unsur biaya produksi (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik, baik yang bersifat variabel maupun tetap) ditambah dengan biaya non produksi seperti biaya pemasaran dan biaya administrasi umum.

          B. Metode variable costing
     Variable costing merupakan metode penentuan biaya produksi yang hanya memperhitungkan biaya produksi yang berprilaku variabel ke dalam biaya produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel (Mulyadi, 2009).
     Variable costing merupakan perhitungan biaya dengan menggunakan output sebagai variabel biaya produksi. Perhitungannya dengan memasukkan bahan langsung, tenaga kerja langsung dan biaya varibel overhead (Garrison et al, 2010).
     Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variable costing merupakan metode penentuan harga pokok yang hanya memasukkan komponen biaya yang bersifat variabel sebagai unsur harga pokok, yang meliputi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik variabel. Variable costing beranggapan bahwa biaya overhead pabrik tetap tidak secara langsung membentuk produk, maka tidak relevan jika dimasukkan kedalam perhitungan biaya pokok produksi. Sebaiknya biaya overhead tetap dimasukkan kedalam kelompok biaya periode (period cost). Berdasarkan pengertian diatas maka perhitungan harga pokok dengan menggunakan metode variabel costing tampak sebagai berikut:

       Biaya Bahan Baku                                         Rp XXX
       Biaya Tenaga Kerja Langsung                            XXX
       Biaya Overhead Variabel                                    XXX
                                                                                                    +
       Harga Pokok Produksi                                   Rp XXX
      
     Variable costing digunakan untuk memperbaiki informasi biaya penuh produk dengan mengelompokkan biaya menurut prilaku biaya dalam hubungannya dengan perubahaan volume aktivitas. Namun, karena variable costing bertujuan yang sama dengan full costing maka perbaikan yang dilakukan oleh variable costing hanya terbatas pada biaya fase produksi saja. Variable costing hanya memperhitungkan biaya penuh produk terbatas pada biaya produksi variabel saja. Biaya produksi tetap diperlakukan sebagai biaya periode. Selain itu, variabilitas biaya menurut variable costing hanya dihubungkan dengan aktivitas yang bersangkutan dengan jumlah produk yang diproduksi. Oleh karena itu, jika biaya penuh produk tidak hanya bervariasi dalam hubungannya dengan jumlah produk yang dihasilkan, namun sebagian besar yang lain bervariasi dengan aktivitas yang bersangkutan dengan batch produksi dan aktivitas yang bersangkutan dengan produk, maka biaya penuh produk dengan menggunakan variable costing tidak menggambarkan secara cermat sumber daya yang dikorbankan untuk produk (Mulyadi, 2001).
     Secara umum perhitungan biaya produk yang dihitung dengan menggunakan pendekatan variable costing, komponen perhitungannya terdiri dari unsur biaya produksi variabel (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead variabel) ditambah dengan biaya non produksi variabel (biaya pemasaran variabel serta biaya administrasi dan umum variabel) dan biaya tetap (biaya overhead tetap, biaya pemasaran tetap dan biaya administrasi dan umum tetap).

Price and quality influences to customer satisfication on low cost carriage air lines ( case study: Sriwijaya Air)


Note: This riset only in indonesian, and doesnt have translate in other language.
here only abstrak so more and completely  file please contact via email, thanks.

Price and quality influences to customer satisfication on low cost carriage air lines ( case study: Sriwijaya Air)

Persaingan didalam dunia bisnis dewasa ini sangat ketat baik untuk produk maupun jasa, dan kemajuan tekhnologi informasi turut ambil bagian dimana sekarang para pelanggan dapat mempertimbangkan produk dan jasa apa yang akan digunakan dan dapat beralih dengan mudah jika suatu produk atau jasa tidak memberikan kepuasan “apa yang dibutuhkan”. Konsep kepuasan konsumen ini merupakan hal penting bagi para manajer pemasaraan dimana kepuasan konsumen dapat mendorong pembelian ulang (Fornell, 1992). Menurut Kotler (2000,) Kepuasan konsumen disini diartikan sebagai hasil yang dirasakan oleh pembeli yang mengalami kinerja sebuah perusahaan yang sesuai dengan harapan, konsumen merasa puas kalau harapan mereka terpenuhi dan merasa gembira jika harapan mereka terlampaui. Konsumen yang puas cenderung tetap loyal lebih lama, membeli lebih banyak, kurang peka terhadap perubahan harga, dan pembicaraan yang menguntungkan perusahaan.
Kondisi persaingan tersebut menuntut Perusahaan untuk menetapkan strategi-strategi manajemen guna mempertahankan dan memperluas market share melalui konsep pemberian kepuasan kepada konsumen serta nilai lebih lainnya. Anderson, Fornell, dan Lehmann (1994) menyatakan bahwa apabila pelanggan puas terhadap barang atau kualitas pelayanan yang diberikan maka akan timbul kesetiaan pelanggan sehingga minat beli pelanggan meningkat dan membuat pelanggan mau melakukan pembelian ulang.
Selama 11 tahun belakangan ini dunia bisnis penerbangan Indonesia telah banyak diramaikan oleh hadirnya maskapai-maskapai baru seperti Lion Air yang berdiri pada tahun 1999 dan mulai beroperasi pada tahun 2000, Air Asia Indonesia yang pertama kali beroperasi pada tahun 2000 dengan nama Awair yang kemudian sempat vakum pada maret 2002 dan beroperasi kembali pada November 2005 dan satu tahun kemudian berubah nama menjadi Air Asia Indonesia, Citilink yang merupakan unit bisnis penerbangan murah dari Garuda Indonesia yang berdiri pada tahun 2001, Wings yang mulai beroperasi pada Juni 2003 serta Sriwijaya Air yang didirikan oleh keluarga Lie (Hendry, Cahndra, Andi dan Fandi) pada November 2003. Kemunculan airlines-airlines baru tersebut menyebabkan tingkat persaingan didalam bisnis penerbangan semakin ketat baik dari aspek produk, pelayanan dan harga. Jika maskapai tidak mampu bersaing didalam ketiga produk tersebut maka maskapai tersebut akan kehilangan konsumennya.
Sriwijaya merupakan perusahaan jasa penerbangan yang termasuk muda. Dalam strategi bisnisnya sriwijaya termasuk kedalam perusahaan penerbangan yang menerapkan low cost carriage (LCC) dengan segmentasi kelas ekonomi. Namun rencananya sendiri, dalam usaha diversifikasi produk Sriwijaya Air di tahun 2012 ini akan membidik segmentasi pasar kelas bisnis seiring dengan akan adanya kedatangan 22 unit pesawat barunya. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa kepuasan pelanggan dapat menciptakan loyalitas, minat untuk membeli kembali dan cenderung akan mengabaikan perubahan harga dan lebih mudah menerima perubahan dan produk baru. (eko.triyanggono@yahoo.com)

Nettwerk: Digital Marketingin the Music Industry


The music industry comprised a wary alliance between art and business. Artist, musicians and songwriters relied on business people in the form of publishers for the promotion and sale of recorded music product. Publishers were of two kinds: major and independent. There were majors like Universal  Music Group, Sony Music Entertainment, etc but not much more independent label.  Independent labels or indies, there were literally thousands labels.
Artists and musicians were traditionally paid from these album sales. Sales with the major labels were stimulated in 1984 by introduction of the compact disc. Since 1991 some company’s made experiments in digital audio encoding (mp3) and recorded music industry’s peak in 1999. In 2003, Apple launched Apple’s iTunes Strore, its a beganning big developing digital music sales.
Nettwerk was one of the larger independent music labels, publishers and management firms, whose over its 25 years operations. Nettwerk was born from Terry McBride’s passion for musics as an engineering student, he shared his enthusiasm for British and European music as a host on the campus radio station and nightclub disc jockey and became involved with local bands as booking agent, concert promoter and manager. And in 1984, he and a friend, Mark Jowett, formed an independent label, Nettwerk Records, signing artist in electronic, dance, and industrial genres.
Nettwerk Key success is responds to digital transformation. In the spring of 2002 Terry McBride proposed a radical reshaping of the company, they would phase out its compact disc business and shift its focus to the digital music marketplace. The goal was market to fans wherever they spent their time. Beside that, by staying abreast of fans changing media use, Nettwerk soon found itself exploring the social networking site MySpace and the artist and fans pages that had began to populate that site. For sequirreling the tail, Netwerk utilize some medias likes television placement, Ad Placement, Cause-Related marketing, niche taste.

The Effect of Globalization (Nationality)


The development of science and technology creates a new world order, where the state borders fade and tend to lead the worls into singe unit (market) or a global word. Society world was constantly changing technological development in line, moving from an agrarian society and civic industry continues to post-industrial society which is too tekhnologis. If there is a State or nation is not ready to face the global challenges that is multidimensional and not able to take advantage of opportunities then precisely state or nation will become a victim of globalization itself.
Indonesia as one part of the world (world society) involved in the currents of globalization. In an attempt to face the challenges of globalization, Indonesia has the Pancasila as the State which is an essential guide for every Indonesian citizen has the same understanding and ultimately have the same perception and attitude to the position, role and function of Pancasila in the life of nation and state.Pancasila is the foundation or fundamental of life of the nation, the State will strengthen the fundamental strength of the founding of the State, and vice versa fundamental fragility of a country will result in weakness of the State, therefore the foundation of this country must always be strong and sturdy.

Globalization is happening in various aspects of life will make every nation into one part of the world. The wave of globalization is specifically affects three crucial areas in the life of the nation, namely the political area, the area of ​​economic and cultural areas.
Or area in terms of politics, the issues that matter most powerful democracy is exhaled. Democratization has spread throughout the country so that they do social movements and even a coup against the dictatorship system of government or any form of government which impartially to the community. Of course this affects two different sides, namely the positive: the era of globalization can foster democratic awareness, awareness of rights and obligations and responsibilities in a state of consciousness. But other than that was the issue of democratization is mainly for developing countries often lead to attitudes and actions of anarchists who can take a lot of casualties and the disintegration of the nation so that the concept of nationalism worse off. Many historic events in this area (cases), such as reforms of 1998 and overthrow of President Muammar Gaddafi dictatorship as well as some governments in the Middle East last time.


Developing A Corporate Parenting Strategy


How the deloping a corporate parenting strategy. I get a theory from Campbell, Goold and Alexander, they recommend that the search for appropriate corporate strategy involves three analytical steps:
1.     1. Examine each business unit (or target in the case of acquisition) in terms of its stragic factors: People in the business units probably identified the strategic factors when they were generating business strategies for their units. One popular approach is to establish centers of excellence throughout the corporation. According to Frost, Birkinshaw, and Ensign, a center of excellence is “an organizational unit that embodies a sef of capabilities that has been explicitly recognized by the firm as an important source of value creation, with the intention that these capabilities be leveraged by and or disseminated to other parts of firm.
2.      2. Examine each business unit (or target firm) in terms of areas in which performace can be improved: these are considered to be parenting opportunities. For example, two business units might be able to gain economies of scope by combining their sales forces. In another instance, a unit may have good, but not great, manufacturing and logistics skills. A parent company having world class expertise in these areas could improve that unit’s performance. The corporate parent could also transfer some people from one business unit who have the desired skills to another unit that is in need of those skills. People at corporate headquarters may, because of there experience in many industries, spot areas where improvements are possible that even people in the business unit may not have noticed. Unless specific areas are significantly weaker than the competition, people in the business units may not even be aware that these areas could be improved, especially if each business unit monitors only its own particulary industry.
3.      3. Analyze how well the parent corporation fits with the business unit (or target firm): corporate headquarters must be aware of its own strengths and weaknesses in term of resources, skills, and capabilities. To do this, the corporate parent must ask whether it has the characteristics that fit the parenting opportunities in each business unit. It must also ask whether there is a misfit between the parents’s characteristics and the critical success factors of each business unit.

Corporate Parenting Definition


Campbell, Goold and Alexander, authors of Corporate-level Strategy: creating Value in the multi business Company, contend that corporate strategists must address two crucial questions:
-          - What businesses should this company own and why?
-         -  What organizational structure, management process, and philosophy will foster superior performace from the company’s business unit?

Portofolio analysis typically attempts to answer these questions by examining the attractiveness of various industries and by managing business units for cash flow, that is, by lio analysis fails to deal with the question of what industries a corporation should enter or with how a corporation can attain synergy among its product lines and business units. As suggested by its name, portofolio analysis tends to primarly view matters financially, regarding business units. According to Campbell, Goold and Alexander.
Corporate Parenting, in contrass, views a corporation in term of resources and capabilities that can be used to build business unit values as well as generate synergies across business units. According to Campbell, Gold and Alexander
Multibusiness companies create value by influencing-or parenting-the businesses they own. The best parent companies create more value than any of their rivals would if they owned the same businesses. Those companies have what we call parenting adventage.
Corporation parenting generates corporate strategy by focusing on the core competencies of the parent corporation and on the value created  from the relationship between the parent and its businesses. In the form of corporate headquarters, the parent has a great deal of power in relationship. According to Campbell, Goold and Alexander, if there is a good fit between the parent’s skills and resources and the needs and opportunities of the business units, the corporation is likely to created value. If, however, there is not a good fit, the corporation is likely to destroy value. Research indicates that companies that have a good fit between their strategy and their parenting roles are better performers than those companies that do not have a good fit. This approach to corporate strategy is useful not only in deciding what new businessto acquire but also in choosing how each existing business unit should be best managed. This appearsto have been the secret to the successof general electric under CEO Javck Welch. According to one analyst in 2000, “He and his managers really add value by imposing tough standarts of profitability and manufacturing trick cuts cost in GE’s aero engine repair shops in Wales, he insists it be applied across the group.
The primary job of corporate headquarters is, therefore, to obtain synergy among the business unit by providing needed resources to units, transferring skills and capabilities among the units, and coordinating the activities of shared unit functions to attain economies of scope (as in centralized purchasing). This is an agreement with the concept of the learning organization which the role of a large firm is to facilitate and transfer the knowledge assests and services thourghout the corporation. This is especially important given that 75% or more of a modern company’s market value steam from its intangible assets. 

NIKE: MOVING DOWN THE SUSTAINABILITY TRACK THROUGH CHEMICAL SUBSTITUTION AND WASTE REDUCTION - Review


Nike is one of the footwear company (shoes, sandals, etc.), as a company,  they trying to manage long-term holistic corporate marketing through a variety of ways and one of them through the environmental issues the reduce chemical used in production. In the long term (in 2020) nike trying to achieve the production targets that include zero waste, zero toxics, and 100% recovered product and this will manifest nike able to reach 15 billion dollars and supported successful growth and market share inprimary market (eg, approximately, 40% market share in athletic shoes), so it cancompete against other competitors and expand its own brand of Nike.
Philanthropic approach to environmental problems at the company began in the early 1990s, starting from a small group of employees which later became Nike, Nike Environmental Action Team. The initial focus is simple yaknni oriented programs such as recycling and education. Currently own philanthropy is known as the CSR has been growing rapidly with a wide range of activities and their owncustomized based on the desire of the company.
Philanthropic or CSR approaches need to be done by Nike because Nike when itis necessary to cope with growing criticism in the late 1990s, where the companyis profiled in the U.S. media as the company is irresponsible and negligent on the environment for operating sweatshops with underage workers in Asia and the useof chemicals that pollute public water sources in developing countries whereproduction, and this step is successful, and thus CSR is one way of socialapproach to the community to build a good brand.